Cara / Solusi Alternatif Mengurangi Subsidi BBM


Sebuah berita VOA Indonesia tanggal 16 November 2012 tentang pengurangan subsidi BBM yang telah memicu kemarahan di Yordania dan memuncak menjadi seruan revolusi dengan tuntutan mundurnya Raja Abdullah (selengkapnya dapat dibaca di Pengurangan Subsidi BBM, Picu Protes Besar di Yordania) membuat saya teringat akan salah satu solusi alternatif yang cukup lama terpikirkan yang semoga saja dapat membantu pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah subsidi BBM.

Beberapa waktu yang lalu pemerintah membatalkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi (Premium) dari Rp 4.500,00 menjadi Rp 6.000,00 karena banyaknya aksi penolakan dari masyarakat. Kenaikan Rp 1.500,00 yang berarti lebih dari 30% jelas terlalu besar untuk dapat diterima. Jika saja pemerintah hanya menaikkannya Rp 500,00 atau kurang dari 12% dan memberikan penjelasan yang cukup, saya rasa rakyat tidak akan keberatan akan kebijakan pemerintah tersebut.

Sebenarnya bila kita mau sedikit berpikir, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi membengkaknya subsidi BBM. Pemerintah sendiri sebetulnya sudah mengatakan bahwa subsidi BBM itu perlu tetapi hanya saja subsidi BBM lebih banyak tidak tepat sasaran karena lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu yang seharusnya tidak menggunakan BBM bersubsidi.

Oleh karena itu pemerintah kemudian menganjurkan agar mobil-mobil pribadi, pemerintah, kendaraan dan mesin-mesin industri dan perkebunan untuk beralih dari menggunakan BBM bersubsidi (Premium) ke Pertamax yang memiliki nilai oktan lebih tinggi dan tidak disubsidi. Menurut saya hal ini tidaklah efektif karena yang diperlukan adalah peraturan yang tegas dan tidak semua mobil cocok dengan bahan bakar Pertamax yang memiliki kadar oktan tinggi.

Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menghilangkan subsidi BBM untuk mobil-mobil pribadi, pemerintah, kendaraan dan mesin-mesin industri dan perkebunan. Artinya kendaraan-kendaraan di atas tetap diperbolehkan mengkonsumsi BBM ber-oktan rendah (Premium) tetapi dengan harga tanpa non-subsidi. Jadi hanya sepeda motor, angkutan umum, pertanian, peternakan, dan perikanan saja yang mendapatkan subsidi BBM.

Hal ini tidak sulit dilakukan karena biasanya di setiap tempat pengisian BBM terdapat beberapa stasiun pengisian yang sudah dibagi-bagi sesuai dengan jenis BBM, solar/diesel, pertamax, dan bensin bersubsidi (Premium). Stasiun pengisian bensin bersubsidi (Premium) biasanya juga dibagi menjadi dua, khusus untuk kendaraan roda empat atau lebih dan kendaraan roda dua.

Yang pemerintah (dalam hal ini Pertamina) harus lakukan hanyalah mengubah stasiun pengisian bensin bersubsidi (Premium) untuk kendaraan roda dua menjadi untuk roda dua dan angkutan umum saja,  dan mengubah stasiun pengisian bensin bersubsidi (Premium) kendaraan roda empat atau lebih menjadi tidak bersubsidi.

Bila di tempat pengisian bahan bakar hanya terdapat satu stasiun (mesin) pengisian bensin, karena biasanya di setiap mesin pengisian bensin dilengkapi dengan 2 buah selang dan 2 buah mesin/alat pengukur maka salah satu bisa digunakan untuk BBM Premium bersubsidi dan yang lain untuk Premium non-subsidi. Karena saya lihat di mesin-mesin pengisian BBM yang baru sudah dilengkapi dengan struk pembelian yang berarti sudah terkomputerisasi maka pemerintah (Pertamina) dan pemilik tempat pengisian BBM juga tidak perlu untuk khawatir akan masalah perhitungan banyaknya BBM bersubsidi atau non subsidi yang terjual. Yang perlu pemerintah (Pertamina) lakukan mungkin hanyalah mengganti mesin-mesin pengisian BBM yang sudah tua dengan yang baru yang dapat dikomputerisasi.